Kamis, 14 Mei 2015

FIRST CLAP, SECOND CLAP



Suatu hari di musim panas, sekolahku mengadakan acara camping di hutan yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Sekolahku hanya melakukan camping selama 3 hari 2 malam. Suasana di dalam bis sangat panas. Yah, walaupun sekolah kami menyewa bis ber-AC, tetap saja cuacanya panas. Untungnya, aku—miku, Rin, dan Len duduk di barisan kedua paling depan. Lumayan, mendapat sedikit udara daripada di barisan tengah dan belakang. Perjalanan menuju hutan memakan waktu 3 jam.
Sesampainya di hutan tujuan kami—sebut saja hutan itu bernama Hutan Meguro, kami berkumpul terlebih dahulu.
“Anak-anak, saat kita memasuki hutan nanti, jangan sampai ada ynag terpisah dari kelompok dan juga ikuti guru pembimbing. Mengerti?” jelas Kepala Sekolah kami. Para siswa-siswi serempak menjawab, “Baik!”
Lalu kami memasuki hutan—dengan berbaris. Kami melewati semak yang tampak tumbuh liar, sungai kecil, dan berbagai undakan-undakan kecil namun berbahaya. Kurasakan tubuh Rin yang menggandeng tanganku gemetaran.
“Rin-chan, ada apa?” tanyaku.
Rin menatapku cemas, “Kurasa… hutan ini banyak penunggunya,”
Len—saudara kembar Rin, langsung menenangkan Rin, “Kau jangan berpikiran negatif dulu. Hentikan pikiranmu tentang yuurei (hantu)! Dan cobalah kau berpikiran positif saat ini.”
Rin langsung terdiam jika saudara kembarnya menasihatinya. Tapi masih bisa kurasakan kalau tubuh Rin masih gemetaran.
“Kita sudah sampai, anak-anak!” kata guru pembimbing barisanku, alias wali kelasku.
Aku mengamati tanah kosong yang luas di depanku. Jadi ini tempat kami camping? Aku celingukan. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi mengelilingi tanah kosong itu. Tempatnya cukup sejuk karena dilindungi pohon-pohon. Lumayan lah tidak membuat kulitku jadi coklat akibat sinar ultraviolet dari matahari.
Kami berkumpul di tanah kosong itu. Entah mengapa tanah ini tidak ditumbuhi sedikit pun pohon-pohon kecil, tumbuhan liar, apalagi rerumputan. Dan kurasa, selama disini, aku tidak akan mau mandi. Walaupun mungkin aku akan dipaksa atau diejek ‘bau’ sekali pun, aku tetap takkan mau mandi di alam terbuka seperti ini!
Kepala Sekolah segera memberi peraturan selama kami camping, “Anak-anak, nanti malam kita akan mengadakan games. Games untuk nanti malam adalah uji nyali. Cara bermainnya masih dirahasiakan. Nah, sekarang kalian buatlah tenda. Habis itu istirahatlah untuk makan malam nanti,”
Kami bubar mencari tempat untuk memasang tenda. Tak jauh-jauh amat dari tempat berkumpul, sih. Dan game-nya uji nyali? Hm, sepertinya menarik!
                                                                 ***
Hari pun berganti menjadi malam dengan cepat. Kami berbaris berdasarkan kelompok. Masing-masing kelompok 3 orang. Kelompokku terdiri dari aku, Rin, dan Len. Sahabatku yang lain—Naito, Luka, dan IA berada di kelompok berbeda. Aku membawa satu senter di tangan kananku. Len memegang kompas kecil. Kami semua membicarakan uji nyali seperti apa yang akan dihadapi. Kami—para murid yang tadinya berisik, segera diam ketika Kepala Sekolah berjalan ke depan kami.
“Baiklah, sekarang saya akan menjelaskan aturan bermainnya. Disini, aku sudah memegang kertas yang berisikan nama kelompok dan anggotanya. Ketua kelompok harus memimpin dengan benar dan bertanggung jawab atas kelompoknya. Aturan bermainnya, kalian—masing-masing kelompok harus mencari 3 bendera dengan lambang sekolah kami yang berada di sekitar sini. Kalian bisa menggunakan kompas jika susah menemukan bendera. Durasi waktu adalah 90 menit. Kalian jangan lupa membawa senter dan kompas, ya! Bagi yang membawa ponsel, harus aktif juga ponselnya. Dan yang paling diingatkan adalah jangan sampai berpisah dari kelompok! Ada pertanyaan?”
Para murid menggeleng, “Oke, kita akan memulainya. Ingat, jangan sampai terpisah dan tersesat! Saya akan menghitung mundur dan setelah saya selesai menghitung, kalian harus berpencar bersama kelompok. Oke, dimulai dari 10.. 9.. 8.. 7.. 6.. 5.. 4.. 3.. 2…… 1, mulai!”
Kelompok kami pun mulai berpencar. Kami pergi ke arah Utara. Jangan sampai kami salah jalan. Aku memutar senter kesana-kemari untuk menemukan bendera. Tapi kami belum menemukannya satu pun. Rin berteriak.
“Disana! Ada bendera di atas pohon sana! Tapi hati-hati… ada seseorang disana,” suara Rin memelan di akhir kalimat. Aku dan Len mengarahkan senter ke atas pohon yang ditunjuk Rin. Tak ada siapa-siapa di atas sana, melainkan hanya bendera berlambang sekolah kami.
“Jangan bergurai seperti itu, Rin-chan!” ucap Len. Ia lalu melompat-lompat untuk meraih bendera. Karena Len tak mencapai bendera, akhirnya ia memanjat.
“AW!” Len tiba-tiba terjatuh dengan memegangi tangan kirinya yang ia gunakan untuk mengambil bendera. Bendera berhasil ia ambil. Tapi di punggung tangan kirinya terdapat cakaran akibat mengambil bendera.
Aku dan Rin mendekati Len. “Kau tak apa?” tanyaku sedikit khawatir.
“Hm, tak apa. Hanya luka kecil akibat tergesek di batang pohon saja,” jawab Len tenang.
“Sudah kubilang hati-hati, kan?” ucap Rin perhatian pada kembarannya. Len mendengus. Kami membantu Len berdiri.
“Untung saja tak berdarah,” kataku. “sebaiknya kita cepat mencari bendera selanjutnya. Sini kan kompasmu, Len!”
Len menyembunyikan kompasnya, “Tidak mau! Aku kan shounen, sebaiknya aku yang berada di depan. Jangan remehkan aku, mentang-mentang aku mendapat luka kecil, kau langsung ambil alih begitu!”
Dasar, Len keras kepala! Sekali-kali pakailah otakmu, dong! Oke, aku dengan Len sebenarnya sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah sidikit pun.
“Kenapa kalian malah berebutan kompas? Cepat kita pergi dari sini!” Rin menarikku dan Len.
Kami segera mencari bendera selanjutnya. Rin menggunakan ponselnya untuk mencari bendera itu.
“Nah, benderanya ada di bawah. Sebentar ya…” Rin berjalan 5 kaki dan mengambil bendera itu. “Kita sudah mendapatkan dua bendera, kita tinggal mencari bendera satunya. Cepat!”
Rin cukup pandai untuk menemukan sesuatu. Instingnya tajam. Apalagi penglihatannya!
Tiba-tiba, kami menemukan sebuah rumah kecil di depan kami. Cukup mencurigakan. Padahal seingatku, kami tidak berjalan begitu jauh. Tapi….. oh, god, firasat buruk!
Len menyeringai, “Ayo kita istirahat sebentar disana..”
“LEN-KUN!!” bentakku dan Rin. Len tidak menghiraukan kami. Aku dan Rin bertatapan, lalu mengejar Len. Rin tampak cemas.
Mau tak mau kami akhirnya menuruti Len dengan beristirahat di dalam rumah itu sebentar. Rumah ini kosong dan hanya ada sedikit perabotan yang tersedia. Rin dan Len duduk di lantai kayu rumah ini. Rin tampak ketakutan, sementara aku mengecek rumah itu. Rumah ini hanya sepetak dan hanya mempunyai satu jendela kecil. Aku mendekati kedua sahabatku itu.
CKLEK!
Terdengar suara pintu terkunci. Len yang tadinya seperti terhipnotis itu tersadar. Dia kebingungan dan panik, “Ada apa ini? Kenapa kita ada disini?!”
“Tenang, Len-kun, kita sekarang terkunci di dalam sini..” ucapku. Len menatapku dengan tatapan kaget. Akhirnya, Rin menjelaskan bagaimana kami bisa masuk kesini. Len yang mendengarnya tampak shock.
TAP.. TAP.. TAP..
“Sstt.. ada suara langkah kaki,” peringat Rin. Benar, di luar terdengar suara langkah kaki. Kami bertiga mengendap-endap menuju pintu.
“Sial, disini tak ada sinyal sama sekali!” keluhku sambil menggoyangkan ponselku—mencari sinyal.
“Apa perlu kita coba ajak bicara?” tanya Rin.
“Hei, yang di luar sana! Apakah kalian pemilik rumah ini? Jika iya, bisakah kalian membukakan pintu ini?!”
Hening.
“Kalian dengar tidak, huh? Apakah kalian bisu ataukah tuli?!” bentak Len Nampak tak sabaran.
“Len-kun, sepertinya percuma kita berteriak sambil menunggu mereka bicara,” Rin tampak berpikir. Ia berdeham lalu berteriak, “Ehm, begini saja, kami akan melontarkan pertanyaan pada kalian. Jika jawaban kalian ‘ya’, kalian harus tepuk tangan sekali. Tapi jika jawaban kalian ‘tidak’, kalian tepuk tanganlah sebanyak dua kali.”
“Apakah kalian pemilik rumah ini?” tanya Rin.
Clap! Ya..
“Bisakah kalian membuka pintu ini? Kami harus kembali!” teriak Len.
Clap clap! Oh, god! Kami menegang.
“Apakah kalian orang baik?” tanyaku berusaha tenang dan cuek. Clap clap.
Len membentak, “Kau bodoh atau bagaimana?! Kalau mereka orang baik, pasti mereka akan membukakan kita!”
“Oke-oke, kalian orang jahat?” ralatku. Clap clap. Kami semakin ketakutan.
“Kalian shounen?”. Clap clap. “Shoujo kah?”. Clap clap. Hah? Kalau mereka bukan shounen atau shoujo, lalu……….?
Len menyeringai di tengah ketakutannya, “Kalian jangan menakuti kami, ya!”
Rin menahan napas, “Ada… berapa orang di luar sana? Bisa kalian sebutkan jumlahnya msing-masing satu tepuk tangan?”
Clap, clap, clap, clap….
Aku ikutan menahan napas. Aku mengelap keringat yang membanjiri keningku dan membasahi poniku. Aku berjalan mengendap-endap ke arah jendela kecil, berniat mengintip keluar—siapa yang iseng mengerjai kami.
Clap..
Clap..
Banyak sekali tepuk tangannya! Aku semakin penasaran dan mengintip keluar.
Clap..
“MIKU-CHAN, JANGAN MENGINTIP KELUAR!!!”
.
.
.
FIN.