Suatu
hari di musim panas, sekolahku mengadakan acara camping di hutan yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Sekolahku
hanya melakukan camping selama 3 hari
2 malam. Suasana di dalam bis sangat panas. Yah, walaupun sekolah kami menyewa
bis ber-AC, tetap saja cuacanya
panas. Untungnya, aku—miku, Rin, dan Len duduk di barisan kedua paling depan.
Lumayan, mendapat sedikit udara daripada di barisan tengah dan belakang.
Perjalanan menuju hutan memakan waktu 3 jam.
Sesampainya
di hutan tujuan kami—sebut saja hutan itu bernama Hutan Meguro, kami berkumpul
terlebih dahulu.
“Anak-anak,
saat kita memasuki hutan nanti, jangan sampai ada ynag terpisah dari kelompok
dan juga ikuti guru pembimbing. Mengerti?” jelas Kepala Sekolah kami. Para
siswa-siswi serempak menjawab, “Baik!”
Lalu
kami memasuki hutan—dengan berbaris. Kami melewati semak yang tampak tumbuh
liar, sungai kecil, dan berbagai undakan-undakan kecil namun berbahaya.
Kurasakan tubuh Rin yang menggandeng tanganku gemetaran.
“Rin-chan,
ada apa?” tanyaku.
Rin
menatapku cemas, “Kurasa… hutan ini banyak penunggunya,”
Len—saudara
kembar Rin, langsung menenangkan Rin, “Kau jangan berpikiran negatif dulu.
Hentikan pikiranmu tentang yuurei
(hantu)! Dan cobalah kau berpikiran positif saat ini.”
Rin
langsung terdiam jika saudara kembarnya menasihatinya. Tapi masih bisa
kurasakan kalau tubuh Rin masih gemetaran.
“Kita
sudah sampai, anak-anak!” kata guru pembimbing barisanku, alias wali kelasku.
Aku
mengamati tanah kosong yang luas di depanku. Jadi ini tempat kami camping? Aku celingukan. Pohon-pohon
besar yang menjulang tinggi mengelilingi tanah kosong itu. Tempatnya cukup
sejuk karena dilindungi pohon-pohon. Lumayan lah tidak membuat kulitku jadi
coklat akibat sinar ultraviolet dari matahari.
Kami
berkumpul di tanah kosong itu. Entah mengapa tanah ini tidak ditumbuhi sedikit
pun pohon-pohon kecil, tumbuhan liar, apalagi rerumputan. Dan kurasa, selama
disini, aku tidak akan mau mandi. Walaupun mungkin aku akan dipaksa atau diejek
‘bau’ sekali pun, aku tetap takkan mau mandi di alam terbuka seperti ini!
Kepala
Sekolah segera memberi peraturan selama kami camping, “Anak-anak, nanti malam kita akan mengadakan games. Games untuk nanti malam adalah uji nyali. Cara bermainnya masih
dirahasiakan. Nah, sekarang kalian buatlah tenda. Habis itu istirahatlah untuk
makan malam nanti,”
Kami
bubar mencari tempat untuk memasang tenda. Tak jauh-jauh amat dari tempat
berkumpul, sih. Dan game-nya uji
nyali? Hm, sepertinya menarik!
***
Hari
pun berganti menjadi malam dengan cepat. Kami berbaris berdasarkan kelompok.
Masing-masing kelompok 3 orang. Kelompokku terdiri dari aku, Rin, dan Len.
Sahabatku yang lain—Naito, Luka, dan IA berada di kelompok berbeda. Aku membawa
satu senter di tangan kananku. Len memegang kompas kecil. Kami semua
membicarakan uji nyali seperti apa yang akan dihadapi. Kami—para murid yang
tadinya berisik, segera diam ketika Kepala Sekolah berjalan ke depan kami.
“Baiklah,
sekarang saya akan menjelaskan aturan bermainnya. Disini, aku sudah memegang
kertas yang berisikan nama kelompok dan anggotanya. Ketua kelompok harus
memimpin dengan benar dan bertanggung jawab atas kelompoknya. Aturan
bermainnya, kalian—masing-masing kelompok harus mencari 3 bendera dengan
lambang sekolah kami yang berada di sekitar sini. Kalian bisa menggunakan
kompas jika susah menemukan bendera. Durasi waktu adalah 90 menit. Kalian
jangan lupa membawa senter dan kompas, ya! Bagi yang membawa ponsel, harus
aktif juga ponselnya. Dan yang paling diingatkan adalah jangan sampai berpisah
dari kelompok! Ada pertanyaan?”
Para
murid menggeleng, “Oke, kita akan memulainya. Ingat, jangan sampai terpisah dan
tersesat! Saya akan menghitung mundur dan setelah saya selesai menghitung,
kalian harus berpencar bersama kelompok. Oke, dimulai dari 10.. 9.. 8.. 7.. 6..
5.. 4.. 3.. 2…… 1, mulai!”
Kelompok
kami pun mulai berpencar. Kami pergi ke arah Utara. Jangan sampai kami salah
jalan. Aku memutar senter kesana-kemari untuk menemukan bendera. Tapi kami
belum menemukannya satu pun. Rin berteriak.
“Disana!
Ada bendera di atas pohon sana! Tapi hati-hati… ada seseorang disana,” suara
Rin memelan di akhir kalimat. Aku dan Len mengarahkan senter ke atas pohon yang
ditunjuk Rin. Tak ada siapa-siapa di atas sana, melainkan hanya bendera
berlambang sekolah kami.
“Jangan
bergurai seperti itu, Rin-chan!” ucap Len. Ia lalu melompat-lompat untuk meraih
bendera. Karena Len tak mencapai bendera, akhirnya ia memanjat.
“AW!”
Len tiba-tiba terjatuh dengan memegangi tangan kirinya yang ia gunakan untuk
mengambil bendera. Bendera berhasil ia ambil. Tapi di punggung tangan kirinya
terdapat cakaran akibat mengambil bendera.
Aku
dan Rin mendekati Len. “Kau tak apa?” tanyaku sedikit khawatir.
“Hm,
tak apa. Hanya luka kecil akibat tergesek di batang pohon saja,” jawab Len
tenang.
“Sudah
kubilang hati-hati, kan?” ucap Rin perhatian pada kembarannya. Len mendengus.
Kami membantu Len berdiri.
“Untung
saja tak berdarah,” kataku. “sebaiknya kita cepat mencari bendera selanjutnya.
Sini kan kompasmu, Len!”
Len
menyembunyikan kompasnya, “Tidak mau! Aku kan shounen, sebaiknya aku yang berada di depan. Jangan remehkan aku,
mentang-mentang aku mendapat luka kecil, kau langsung ambil alih begitu!”
Dasar,
Len keras kepala! Sekali-kali pakailah otakmu, dong! Oke, aku dengan Len
sebenarnya sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah sidikit pun.
“Kenapa
kalian malah berebutan kompas? Cepat kita pergi dari sini!” Rin menarikku dan
Len.
Kami
segera mencari bendera selanjutnya. Rin menggunakan ponselnya untuk mencari
bendera itu.
“Nah,
benderanya ada di bawah. Sebentar ya…” Rin berjalan 5 kaki dan mengambil
bendera itu. “Kita sudah mendapatkan dua bendera, kita tinggal mencari bendera
satunya. Cepat!”
Rin
cukup pandai untuk menemukan sesuatu. Instingnya tajam. Apalagi penglihatannya!
Tiba-tiba,
kami menemukan sebuah rumah kecil di depan kami. Cukup mencurigakan. Padahal
seingatku, kami tidak berjalan begitu jauh. Tapi….. oh, god, firasat buruk!
Len
menyeringai, “Ayo kita istirahat sebentar disana..”
“LEN-KUN!!”
bentakku dan Rin. Len tidak menghiraukan kami. Aku dan Rin bertatapan, lalu
mengejar Len. Rin tampak cemas.
Mau
tak mau kami akhirnya menuruti Len dengan beristirahat di dalam rumah itu
sebentar. Rumah ini kosong dan hanya ada sedikit perabotan yang tersedia. Rin
dan Len duduk di lantai kayu rumah ini. Rin tampak ketakutan, sementara aku
mengecek rumah itu. Rumah ini hanya sepetak dan hanya mempunyai satu jendela
kecil. Aku mendekati kedua sahabatku itu.
CKLEK!
Terdengar
suara pintu terkunci. Len yang tadinya seperti terhipnotis itu tersadar. Dia
kebingungan dan panik, “Ada apa ini? Kenapa kita ada disini?!”
“Tenang,
Len-kun, kita sekarang terkunci di dalam sini..” ucapku. Len menatapku dengan
tatapan kaget. Akhirnya, Rin menjelaskan bagaimana kami bisa masuk kesini. Len
yang mendengarnya tampak shock.
TAP..
TAP.. TAP..
“Sstt..
ada suara langkah kaki,” peringat Rin. Benar, di luar terdengar suara langkah
kaki. Kami bertiga mengendap-endap menuju pintu.
“Sial,
disini tak ada sinyal sama sekali!” keluhku sambil menggoyangkan
ponselku—mencari sinyal.
“Apa
perlu kita coba ajak bicara?” tanya Rin.
“Hei,
yang di luar sana! Apakah kalian pemilik rumah ini? Jika iya, bisakah kalian
membukakan pintu ini?!”
Hening.
“Kalian
dengar tidak, huh? Apakah kalian bisu ataukah tuli?!” bentak Len Nampak tak
sabaran.
“Len-kun,
sepertinya percuma kita berteriak sambil menunggu mereka bicara,” Rin tampak
berpikir. Ia berdeham lalu berteriak, “Ehm, begini saja, kami akan melontarkan
pertanyaan pada kalian. Jika jawaban kalian ‘ya’, kalian harus tepuk tangan
sekali. Tapi jika jawaban kalian ‘tidak’, kalian tepuk tanganlah sebanyak dua
kali.”
“Apakah
kalian pemilik rumah ini?” tanya Rin.
Clap!
Ya..
“Bisakah
kalian membuka pintu ini? Kami harus kembali!” teriak Len.
Clap clap!
Oh, god! Kami menegang.
“Apakah
kalian orang baik?” tanyaku berusaha tenang dan cuek. Clap clap.
Len
membentak, “Kau bodoh atau bagaimana?! Kalau mereka orang baik, pasti mereka
akan membukakan kita!”
“Oke-oke,
kalian orang jahat?” ralatku. Clap clap.
Kami semakin ketakutan.
“Kalian
shounen?”. Clap clap. “Shoujo kah?”.
Clap clap. Hah? Kalau mereka bukan shounen atau shoujo, lalu……….?
Len
menyeringai di tengah ketakutannya, “Kalian jangan menakuti kami, ya!”
Rin
menahan napas, “Ada… berapa orang di luar sana? Bisa kalian sebutkan jumlahnya
msing-masing satu tepuk tangan?”
Clap, clap, clap,
clap….
Aku
ikutan menahan napas. Aku mengelap keringat yang membanjiri keningku dan
membasahi poniku. Aku berjalan mengendap-endap ke arah jendela kecil, berniat
mengintip keluar—siapa yang iseng mengerjai kami.
Clap..
Clap..
Banyak
sekali tepuk tangannya! Aku semakin penasaran dan mengintip keluar.
Clap..
“MIKU-CHAN,
JANGAN MENGINTIP KELUAR!!!”
.
.
.
FIN.